Ilmu pengetahuan vs bebas nilai ????
Masalah Bebas Nilai dalam Ilmu Pengetahuan
Masalah bebas nilai dalam ilmu pengetahuan adalah masalah besar sepanjang sejarah ilmu pengetahuan. Masalah ini terutama berkaitan dengan dampak dari ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia.
1. Pengertian Bebas Nilai
Bebas nilai adalah tuntutan yang ditujukan kepada ilmu pengetahuan agar ilmu pengetahuan dikembangkan dengan tidak memperhatikan nilai-nilai lain di luar pengetahuan.
Tuntutan dasarnya adalah agar ilmu pengetahuan dikembangkan hanya demi ilmu pengetahuan, dan ilmu pengetahuan tidak boleh dikembangkan dengan didasarkan pada pertimbangan lain di luar ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus dikembangkan hanya semata-mata berdasarkan pertimbangan ilmiah murni.
Maksud dasar dari tuntutan ini adalah selama ilmu pengetahuan tunduk pada pertimbangan lain di luar ilmu pengetahuan, baik itu pertimbangan politik, religius, maupun moral, ilmu pengetahuan tidak bisa berkembang secara otonom. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan kalah terhadap pertimbangan lain dan dengan demikian ilmu pengetahuan menjadi tidak murni sama sekali.
Yang mau diwujudkan dengan tuntutan bebas nilai adalah tuntutan agar ilmu pengetahuan dikembangkan hanya demi kebenaran saja, dan tidak perlu tunduk kepada nilai dan pertimbangan lain di luar ilmu pengetahuan.
Latar belakangnya adalah kekhawatiran bahwa kebenaran sangat mungkin dikorbankan demi nilai lain. Kalau ilmu pengetahuan harus tunduk kepada kekuasaan pemerintah, hanya demi menjaga keutuhan masyarakat misalnya, ada bahaya bahwa kebenaran dikorbankan. Ada bahaya bahwa kita terpaksa berbohong demi menjaga keutuhan masyarakat. Demikian pula, kalau ilmu pengetahuan harus tunduk kepada nilai-nilai religius dan moral, ada bahaya yang sangat besar bahwa kebenaran dikalahkan demi menjaga keluhuran nilai religius dan moral itu. Akibatnya, kita tidak pernah sampai pada kebenaran ilmiah yang objektif dan rasional. Ilmu pengetahuan lalu berubah menjadi ideologi yang hanya berfungsi untuk melayani pihak tertentu dan demi itu rela mengorbankan kebenaran.
2. Dua kecenderungan Dasar
Kita sepakat bahwa ilmu pengetahuan harus menjadi dirinya sendiri, harus otonom, harus tunduk kepada kaidah-kaidah ilmiah saja, dan tidak boleh tunduk kepada otoritas dan nilai lain di luar ilmu pengetahuan. Maka, ilmu pengetahuan harus bebas nilai, harus lepas dari nilai-nilai lain di luar ilmu pengetahuan.
Tetapi, apakah ilmu pengetahuan mempunyai otonomi yang sedemikian mutlak lepas dari dari campur tangan pihak lain? Kalau begitu, apa sesungguhnya tujuan dari ilmu pengetahuan itu?
Tujuan akhir ilmu pengetahuan adalah untuk mencari dan memberi penjelasan tentang masalah dari fenomena dalam alam semesta ini. Ilmu pengetahuan bertujuan memberi pemahaman kepada manusia tentang berbagai masalah dan fenomena dalam hidup ini. Tetapi, untuk apa penjelasan itu?
Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita membedakan dua macam kecenderungan dasar dalam melihat tujuan ilmu pengetahuan:
1. Kecenderungan Puritan-elitis
Tujuan akhir dari ilmu pengetahuan adalah untuk mencari dan menemukan penjelasan, yaitu penjelasan yang benar tentang segala sesuatu. Tetapi bagi kaum puritan-elitis, kebenaran ilmiah dari penjelasan ini hanya dipertahankan demi kebenaran murni begitu saja, terutama hanya untuk memuaskan rasa ingin tahu manusia. Maka, ilmu pengetahuan bagi mereka dikembangkan hanya demi ilmu pengetahuan.
Kepuasan seorang ilmuwan terletak dalam menemukan teori-teori besar yang mampu menjelaskan segala persoalan, teka-teki, dan gejala alam ini, terlepas dari apakah ilmu pengetahuan itu berguna atau tidak bagi kehidupan praktis manusia. Oleh karena itu, bagi kecenderungan puritan dan elitis, pembicaraan mengenai link and match tidak kena. Tidak ada yang disebut link and match karena ilmu pengetahuan memang hanya bertujuan untuk mencapai penjelasan dan pemahaman tentang masalah-masalah dalam alam ini. Mereka tidak mempersoalkan aplikasinya bagi kehidupan konkret.
Konsekuensinya, ilmu pengetahuan menjadi bidang yang sangat elitis. Ilmu pengetahuan lalu menjadi sesuatu yang mewah, jauh dari kehidupan real manusia.
Posisi dasar dari kecenderungan puritan-elitis adalah bahwa ilmu harus bebas nilai. Ilmu pengetahuan harus lepas dari segala pertimbangan lain di luar ilmu pengetahuan, termasuk pertimbangan nilai guna dari pengetahuan. Kebenaran harus ditegakkan apapun konsekuensinya dan kegunaan praktis dari ilmu pengetahuan. Karena, tujuan dari ilmu pengetahuan adalah menemukan kebenaran, menemukan penjelasan objektif tentang segala sesuatu. Untuk itu, ilmu tidak boleh tunduk pada otoritas lain di luar ilmu pengetahuan.
Bagi kecenderungan puritan-elitis, ilmu pengetahuan mempunyai otonomi yang mutlak. Ilmu pengetahuan tidak boleh kalah dan mengalah terhadap terhadap pertimbangan lain di luar ilmu pengetahuan. Supaya ilmu pengetahuan bisa sampai pada kebenaran objektif, ilmu pengetahuan harus dibebaskan dari segala macam nilai dan pertimbangan lain di luar ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus dibebaskan dari tujuan kemanusiaan, kebahagiaan, dan keselamatan bagi manusia karena selama ilmu pengetahuan dikembangkan demi membantu manusia, demi memecahkan berbagai persoalan hidup manusia, kebenaran bisa dikalahkan oleh pertimbangan lain tersebut.
Contoh: Kasus Busang. Demi meningkatkan nilai saham perusahaan Bre-X, perusahaan itu tega mengorbankan
2. Kecenderungan Pragmatis
Kecenderungan pragmatis pun beranggapan bahwa ilmu pengetahuan dikembangkan demi mencari dan memperoleh penjelasan tentang berbagai persoalan dalam alam semesta ini. Ilmu pengetahuan memang bertujuan untuk menemukan kebenaran. Tetapi bagi mereka, ilmu pengetahuan tidak berhenti sampai di situ saja. Yang juga penting adalah bahwa ilmu pengetahuan itu pada akhirnya berguna bagi kehidupan manusia, yaitu bahwa ilmu pengetahuan berguna bagi manusia untuk memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi dalam hidupnya. Jadi, ilmu pengetahuan bukan dikembangkan demi ilmu pengetahuan semata, melainkan juga demi menjawab berbagai persoalan hidup manusia.
Ilmu pengetahuan menjadi menarik justru karena ia berguna membantu manusia. Tanpa itu, ilmu pengetahuan tidak ada artinya sama sekali. Kebenaran dan penjelasan punya arti justru karena ia berguna bagi kehidupan manusia. Yaitu, membuat hidup manusia lebih baik, lebih menyenangkan, dan lebih bahagia karena dengan ilmu pengetahuan, manusia lebih mampu memahami banyak hal, dan dengan demikian bisa mengatur hidupnya secara lebih baik. Karena dengan ilmu pengetahuan juga manusia bisa memecahkan berbagai persoalan dalam hidupnya.
Karena itulah, yang disebut pengetahuan manusia itu tidak hanya ”tahu bahwa”, ”tahu akan”, dan ”tahu mengapa”, melainkan juga ”tahu bagaimana”.
Yang disebut kebenaran ilmiah itu tidak hanya bersifat logis-rasional dan empiris, melainkan juga bersifat pragmatis, yaitu bahwa kebenaran itu berguna menjawab berbagai persoalan hidup manusia. Contoh: kegunaan ilmu telekomunikasi, medis, ekonomi dsb. Oleh karena itu pula manusia modern sedemikian bergairah mengembangkan terus ilmu pengetahuan sekarang ini.
Bagi kecenderungan pragmatis, ilmu pengetahuan dirasakan betul sangat membantu untuk mengembangkan suatu dunia dan kehidupan yang lebih manusiawi, adil, bahagia, sehat, dan menyenangkan. Jadi, yang ditekankan adalah aspek utiliter dari ilmu pengetahuan, aspek kegunaan.
Berbeda dengan kecenderungan puritan-elitis, bagi kecenderungan pragmatis ilmu pengetahuan tidak bisa bebas nilai. Ilmu pengetahuan terbebani dengan nilai. Ilmu pengetahuan, karena punya kecenderungan pragmatis yang kuat, diliputi oleh nilai; ilmu pengetahuan mau tidak mau peduli atas persoalan penderitaan manusia, ia peduli akan keselamatan manusia, akan harkat dan martabat manusia.
3. Sintesis: Context of Discovery dan Context of Justification
Pertanyaan sekarang adalah manakah posisi yang benar? Salah satu jawaban sekaligus jalan keluar adalah dengan membedakan antara context of discovery dan context of justification
A. Context of discovery
Context of discovery menyangkut konteks di mana ilmu pengetahuan ditemukan. Ilmu pengetahuan tidak terjadi, ditemukan, dan berlangsung dalam kevakuman. Ilmu pengetahuan selalu ditemukan dan berkembang dalam konteks ruang dan waktu tertentu, dalam konteks sosial tertentu. Adalah kenyataan bahwa ilmu pengetahuan muncul dan berkembang demi memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia. Karena itulah, manusia melakukan kegiatan ilmiah.
Jadi, ilmu pengetahuan tidak muncul secara mendadak begitu saja. Ada konteks tertentu yang melahirkannya. Ada perasaan, keinginan, kepentingan pribadi, sosial, budaya, politik yang ikut mewarnai dan mendorong penelitian dan kegiatan ilmiah. Ada pandangan religius, moral, tradisi, dan macam-macam hal lain lagi di luar ilmu pengetahuan yang ikut mewarnai lahirnya ilmu pengetahuan. Jadi, harus diakui ilmu pengetahuan berkembang dan berlangsung dalam suatu masyarakat.
Penelitian ilmiah dan ilmu pengetahuan itu sendiri merupakan hasil dari berbagai faktor berikut: (i) Keputusan masing-masing ilmuwan tentang masalah mana yang ingin mereka teliti atau pecahkan, sangat ditentukan oleh keunikan setiap ilmuwan, oleh kepentingan, nilai, latar belakang etnis-religius, minat, dan sebagainya dari ilmuwan yang bersangkutan. (ii) Keputusan dari berbagai lembaga penelitian tentang jenis penelitian yang mereka lakukan, jelas dipengaruhi oleh nilai, kepentingan, bidang kegiatan lembaga tersebut, dan orang-orang di dalamnya. Setiap lembaga akan mempunyai keunikan masing-masing dan itu mau tidak mau akan mempengaruhi hasil penelitian lembaga tersebut. (iii) Keputusan lembaga penyandang dana pun dipengaruhi oleh minat, nilai, ideologi, dari lembaga tersebut. (iv) Keputusan dan kebijaksanaan dalam masyarakat yang bersangkutan. Setiap masyarakat mempunyai penghargaan dan perhatian yang berbeda terhadap pengembangan ilmu pengetahuan.
Context of Justification
Context of justification adalah konteks pengujian ilmiah terhadap hasil penelitian dan kegiatan ilmiah. Inilah konteks di mana kegiatan ilmiah dan hasil-hasilnya diuji berdasarkan kategori dan kriteria yang murni ilmiah. Di mana yang berbicara adalah data dan fakta apa adanya serta keabsahan metode ilmiah yang dipakai tanpa mempertimbangkan kriteria dan pertimbangan lain di luar itu.
Dalam konteks pembuktian sebuah hipotesis atau teori, yang menentukan hanyalah faktor dan kriteria ilmiah. Semua faktor ekstra ilmiah haruslah ditinggalkan. Satu-satunya yang diperhitungkan adalah bukti empiris dan penalaran logis-rasional dalam membuktikan kebenaran suatu hipotesis atau teori. Dengan kata lain, satu-satunya nilai yang berlaku dan diperhitungkan adalah nilai kebenaran.
@ Dalam context of discovery ilmu pengetahuan tidak bebas nilai. Tetapi, dalam context of justification, ilmu pengetahuan harus bebas nilai.
Tujuan dari pembedaan ini adalah untuk melindungi objektivitas dari hasil akhir kegiatan ilmiah. Yaitu, kendati dalam proses penemuan sebuah hukum ilmiah atau teori ada berbagai nilai, faktor dan pertimbangan ekstra ilmiah yang ikut menentukan, ketika sampai pada tahap pengujiannya, kebenaran hukum atau teori itu tidak boleh ditentukan oleh faktor di luar ilmu pengetahuan.
Pertanyaan relevan yang menggelitik adalah: Bagaimana dengan hasil penelitian yang telah terbukti kebenarannya berdasarkan kriteria ilmiah murni, tetapi, ternyata dianggap bertentangan dengan nilai moral religius tertentu?
Contohnya adalah cloning. Dari segi context of justification, dari segi kriteria kebenarannya tidak bisa dibantah. Dari segi ilmiah hasil ini tidak bisa ditolak, sah secara ilmiah. Tetapi, dari segi context of discovery, pertanyaannya adalah apakah hasil ilmu pengetahuan tersebut berguna? Kalau ternyata tidak berguna, kalau ternyata merendahkan martabat manusia, hasil tersebut perlu ditolak. Tetapi, ditolaknya hasil ini bukan karena tidak benar, melainkan karena tidak ada gunanya bagi hidup manusia. Pada titik ini, ilmuwan yang punya perasaan moral, dipersilahkan untuk memutuskan sendiri apakah ia akan tetap mengembangkan ilmunya yang merugikan masyarakat itu, kendati benar, atau justru menghentikannya.
Comments
Post a Comment